DAFTAR ISI

Kamis, 20 November 2014

Malaikat Pun Menangis Ayah

 
Sang fajar mulai bangun dari peraduannya, kicauan burung pun mulai terdengar saling bersahutan. Para ayam jantan sudah mulai bertengger dan berkokok dengan suara nyaring mereka untuk menandakan bahwa hari baru telah tiba. Perlahan para petani sudah mulai turun ke sawah mereka, dan beberapa pedagang sudah bersiap dengan dagangan mereka yang akan mereka bawa ke pasar. Tak mereka rasakan dinginnya bayu pagi yang semakin menusuk tulang rusuk mereka, yang sebenarnya usia mereka sudah terbilang cukup senja untuk bekerja. Tapi mereka tak merasakan itu semua karena mereka hanya berharap hari ini mereka bisa makan meski hanya dengan sesuap nasi saja.

Hanya bermodal sepeda tua seorang lelaki paruh baya mencari rizki di pasar yang biasa ia datangi. Dengan kayuhan sepeda yang perlahan lelaki itu menekuni pekerjaannya yang ia anggap sudah menjadi kewajibannya. Selama pekerjaan itu halal, ia akan terus menjalaninya hanya untuk anaknya yang berusia 5 tahun.

Dia adalah pak Rahmat, ia adalah seorang lelaki tua yang hidup di sebuah gubuk tua, bersama anak satu-satunya, Nesya. Semenjak kepergian istrinya setelah kelahiran Nesya, pak Rahmat hidup hanya dengan Nesya. Bagi pak Rahmat, Nesya adalah malaikat kecil yang akan menjadi obat jerih payahnya di masa senja pak Rahmat kelak. Dengan penuh rasa ikhlas pak Rahmat jalani puluhan meter jalan berbatu yang terjal, bermandikan keringat di bawah terik matahari, berbasah kuyup saat hujan mulai turun. Namun, semua itu tak pernah memutuskan semangat pak Rahmat untuk Nesya, malaikat kecilnya. Walau tak sebanding dengan jerih payahnya, apapun dan bagaimanapun hasil yang pak Rahmat dapat selalu ia syukuri. Pak Rahmat percaya, kelak Tuhan akan memberikan kebahagiaan lewat putrinya.

Hari sudah semakin siang, pak Rahmat terus mengayuh sepeda tuanya menuju pasar yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Nesya yang baru berusia dini itu masih terlihat terlelap di mimpinya, bahkan ia tak mengerti apa yang sebenarnya setiap pagi ayahnya kerjakan. Hanya beberapa kalimat yang biasa pak Rahmat bisikkan di telinga putrinya sebelum pergi “kau adalah semangat hidup ayah, Nesya.” Meski Nesya masih berusia 5 tahun namun ia selalu menangkap dengan teliti setiap ucapan yang ayahnya bisikkan. Nesya juga selalu mengukirkan sebuah senyuman manis di bibir mungilnya setelah pak Rahmat berbisik seperti itu. Mungkin jika Nesya sudah lebih mengerti ia pasti akan menjawab “Aku juga akan berjuang kelak untuk ayah.”

Hari ini pak Rahmat hanya menjual beberapa sayuran dari kebunnya yang tak begitu luas di samping rumahnya. Dengan keringat yang sudah mulai bercucuran di dahi pak Rahmat ia terus bersemangat menjual sayuran-sayuran itu. Namun, mungkin hari ini belum rejeki pak Rahmat. Ia hanya mendapat seperempat hasil dari yang sudah ia perkirakan sebelumnya. Dengan lapang dada beliau mencoba menerimanya dan membawa pulang kembali sayuran yang tak terjual. Dengan tenaga yang masih tersimpan, pak Rahmat mengayuh kembali sepedanya kemudian beranjak pulang. Dalam perjalanan ia terbayang wajah Nesya yang selalu menghilangkan rasa lelahnya saat semangatnya sedikit memudar.

Dengan kayuhan yang sedikit lebih cepat dari sebelumnya ahirnya sepeda itu telah mengantarkan pak Rahmat kembali di rumahnya. Ia melihat Nesya sudah duduk di teras rumah seraya memegang sebuah sendok dan piring kecil, yang bertanda ia sudah lapar. Pak Rahmat yang mengetahui putrinya sudah menunggu kedatangan beliau, langsung menuruni sepedanya dan berjalan menuju arah tempat anaknya berdiri. Dikecupnya kening Nesya, dan dengan penuh kasih sayang beliau menggendong Nesya dan berjalan menuju dapur dan segera mengambilkan makanan untuk Nesya. Dengan penuh kesabaran pak Rahmat meyuapi Nesya yang hanya tersenyum saat setiap nasi masuk ke dalam mulut mungilnya. Pak Rahmat yang merasa terhibur dengan sikap Nesya hanya membalas senyum yan Nesya berikan. Namun, dibalik tatapan polos Nesya, sebenarnya Nesya berkata “Ayah pasti lelah ya? Ayah, terus berjuang ya? Nesya akan jadi penyemangat untuk ayah.” Dan sesekali terdengar suara tawa dari Nesya, dan suara tawa itu yang membuat pak Rahmat merasa sangat sayang kepada putrinya itu. Apalagi saat Nesya terkadang memanggil pak Rahmat “ A…a… ayaah…”, meski kata-kata Nesya belum sempurna tapi pak Rahmat merasa bahagia saat Nesya memanggilnya ‘Ayah’.

Setelah selesai menyuapi Nesya, pak Rahmat pun segera mengambir air untuk memandikan Nesya. Dan satu hal lagi, Nesya sangat menyukai saat-saat mandi, karena ia bisa bermain air bersama ayahnya sampai terkadang Nesya merasa dingin dan sedikit menggigil. Dengan beberapa canda, pak Rahmat membawa Nesya menuju kamar mandi dan mulai memandikan Nesya. Dengan kesabaran pak Rahmat memandikan Nesya dan dengan sabar pula ia mengusap beberapa air yang membasahi wajahnya karena tingkah Nesya. Dalam hati Nesya berkata lagi “Ayah, Nesya ingin ayah memberikan canda tawa untuk Nesya sampai nanti Nesya bisa membuat ayah bangga pada Nesya.”

Seusai memandikan Nesya, pak Rahmat pun segera bersiap pergi ke ladang untuk mengolah apa yang bisa ia manfaatkan. Seperti biasa, Nesya selalu ikut, dan pak Rahmat menggendongnya di belakang punggung. Meski bermandikan keringat karena cuaca yang sangat terik, pak Rahmat terus mencangkuli ladangnya yang sedikit mengering karena hujan yang tak kunjung datanng. Nesya hanya terdiam saat melihat ayahnya bermandikan keringat di bawah teriknya matahari. Andai Nesya sudah tumbuh menjadi gadis yang dewasa ia pasti akan membantu ayahnya, dan mungkin ia tak akan membiarkan ayahnya terus bekerja di hari yang semakin panas itu. Sesekali pak Rahmat menoleh ke arah Nesya dan Nesya akan tersenyum seraya berucap dalam hati “Semangat ayah, aku di sampingmu.” Dan tatapan lembut Nesya seakan menjadi isyrat tersendiri yang akan memacu semangat pak Rahmat.

Tak terasa hari sudah bergulir menjadi senja, dan pak Rahmat memutuskan untuk segera beranjak kembali ke rumahnya. Nesya yang mungkin juga merasa lelah karena setengah hari menemani ayahnya, ahirnya tertidur saat pak Rahmat mulai menggendongnya dan berjalan pulang.

Senja akhirnya telah berganti pekatnya malam. Di temani sebuah cahaya lampu, pak Rahmat dan Nesya menikmati beberapa suara hewan malam yang seaakan seperti sebuah orkestra musik di malam yang sunyi ini. Nesya sudah berada di dalam kamar mungilnya di dekat ruang tamu, sedangkan pak Rahmat sendiri masih duduk di bangku dekat jendela ruang tengah. Itu adalah kebiasaan pak Rahmat saat ia merasa sepi. Diambilnya sebuah album photo, dan mulai ia buka lembar demi lembar yang sudah mulai terlihat usang karena termakan usia. Terlihat beberapa foto pak Rahmat bersama istrinya saat kandungan istrinya berusia 7 bulan. Dimana saat itu pak Rahmat masih menjalani hari-hari bahagianya bersama sang istri. Tak terasa perlahan airmata pak Rahmat menetes karena ia ingat kenangan bersama istrinya yang kini sudah berbeda tempat dengannya. Dalam hati, pak Rahmat berjanji akan membesarkan Nesya sekuat tenaganya karena ia ingin Nesya menjadi pelita saat usia senja mendatangi pak Rahmat. Dipeluknya dengan erat album foto yang sudah usang itu, dipandangnya langit malam yang penuh bintang, dan berharap esok lebih baik dari hari ini.

Perlahan mata pak Rahmat mulai terpejam dan ia pun mulai terlelap dalam mimpinya. Sedangkan di sisi lain, Nesya terbangun dan melihat ayahnya tertidur tanpa selimut yang menutupi tubuhnya di malam yang dingin ini. Nesya pun beranjak turun dari tempat tidurnya dan kemudian membawa selimut dengan langkah perlahan. Nesya pun meletakkan selimut di kaki dan tangan pak Rahmat. Karena tak bisa meraih wajah ayahnya, Nesya hanya mencium tangan kanan pak Rahmat seraya berdoa dalam hatinya “Ayah, mimpi manis ya? Semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk semua usaha ayah. Nesya tau, malaikat pun ikut menangis jika ayah menangis. Berjuanglah ayah. Nesya berjanji, Nesya akan menjadi pelita di masa tua ayah kelak. Nesya sayang ayah. Selamat malam ayah, mimpi indah.”

Akhirnya, Nesya kembali ke tempat tidurnya dan mulai kembali terlelap tidur. Sedangkan ayahnya mulai tersenyum karena mimpi manis yang putri kecilnya bisikkan. Dan ahirnya mereka pun larut dalam mimpi indah mereka masing-masing, dan menunggu hari esok yang akan lebih bersinar dari hari ini.

Posting Komentar